Nasirun Takut Tobat

| komentar


masyhur asal Cilacap-Jawa Ttengah, Nasirun hendak berangkatkan haji saudara-saudaranya. Tidak main-main tiga orang bersama pasangannya masing-masing. Jadi Nasirun akan berangkatkan 6 orang.

"Alhamdulillah, terima kasih," ujar salah seorang saudaranya.

"Lhah, Kamu berangkat ndak, Run?" tanya saudara yang lain.

Nasirun, sang pelukis yang tinggal di Jogjakarta itu celingukan, memandang satu per satu saudaranya. Tidak menjawab, eh, Nasirun malah ngeloyor sambil ngekek.

Tapi istri Nasirun menimpali, berusaha menjawab pertanyaan yang ditujukan pada suaminya itu, "Kang Nasirun tidak berangkat. Dia takut tobat." (Hamzah Sahal)

Dua Rakaat Sebelum Subuh Mengalahkan Dunia Seisinya

| komentar


Dua rakaat sebelum shalat subuh sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Nilai dua rakaat (sebelum subuh) ini, sebagaimana pesan Rasulullah saw lebih baik dari pada jagad seisinya.
ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها
Dua rakaat shalat fajar lebih baik dari dunia seisinya.
Banyak sekali istilah yang digunakan untuk menunjukan dua rakaat sebelum shubuh. Dari redaksi hadits tersebut sebagian ulama mengatakannya shalat sunnah fajar. Adapula yang menamainya sebagai shalat sunnah subuh karena dilakukan sesebelum shalat subun. Ada pula yang mengatakan shalatsunnah barad mungkin karena dilaksanakan ketika hari masih dingin. Ada pula yang menamakan shalat sunnah ghadat yaitu shalat sunnah yang dilakukan pagi-pagi sekali.
Oleh karena itu dalam Nihayatuz Zain, Syaikh Nawawi memperbolehkan niat shalat dua rakaat subuh ini dengan berbagai macam istilah tersebut. Misalkan ushalli sunnatal fajri rok’ataini ada’an lillahi ta’ala. Atau boleh juga ushalli sunnatal barodi rok’ataini ada’an lillahi ta’ala  sunnatas  subhi, dan seterusnya. Atau boleh juga yang lebih lengkap adalah
اُصَلِّيْ سُنَّةَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
Usholli sunnatas shubhi rok'ataini mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.                                                  
Di samping itu yang harus diperhatikan adalah anjuran untuk tidak berlama-lama dalam shalat, mengingat predikat shalat ini adalah shalat sunnah. Walaupun nilainya lebih berharga daripada dunia seisinya.
Selain itu alasan kebergegasan dua rakaat ini adalah mengikuti Rasulullah saw (liitba’I sunnatir rasul) yang cukup membaca surat al-Kafirun dalam rakaat pertama (setelah al-fatihah) dan al-Ikhlash (setelah al-fatihah)pada rakaat kedua. Atau membaca Alam Nasyrakh (surat al-Insyirakh) pada rakaat pertama dan Alam Taro (Surah al-Fiil) pada rakaat ke dua.
Secara praktis, tersebut pula dalam Nihayatuz zain  anjuran untuk membaca wirid khusus setelah dua rakaat sambil menunggu shalat subuh. Bacaan itu adalah (1) Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa anta, 40 kali. (2) Surat Al-Ikhlas, 11 kali (3) Surat Al-Falaq, 1 kali (4) Surat An-Nas, 1 kali dan (5) Subhanallah wa Bihamdihi, Subhanallahil Adhim, Asytaghfirullah, 100 kali.  
 Demikianlah keterangan dua rakaat sebelum shalat subuh yang menurut sebagian ulama dikategorikan sebagai rawatib (sebagaimana shalat qabliyah lainnya) yang dilaksanakan sebelum shalat subuh.

Penyebab Umar Menangis di Hadapan Nabi

| komentar



Umar bin Khattab merekam pengalaman mengharukan ketika berkunjung ke rumah Rasululah SAW. Umar menyaksikan pemimpin agung yang sangat dimuliakan itu sedang terbaring di atas tikar kasar nan rusak.

Kesedihan Umar bertambah ketika tekstur tikar usang itu membekas di punggung Nabi. Di hadapan Rasulullah, "Singa Padang Pasir" ini pun menumpahkan air matanya.

"Apa yang menyebabkan Engkau menangis, wahai Umar?" tanya Nabi.

"Aku melihat Kisra serta raja-raja lain menikmati tidur di atas ranjang mewah beralaskan sutera. Tetapi di sini Aku melihat Engkau tidur beralaskan tikar semacam ini."

Dengan lembut, Nabi menimpalinya dengan sebuah nasehat.

"Wahai Umar, tidakkah Engkau sependapat denganku. Kita lebih suka memilih kebahagiaan akhirat sedangkan mereka memilih dunia."

Hati Umar bergetar mendengar jawaban tersebut. Umar bersyukur menjadi saksi hidup tentang kebesaran dan kemuliaan pribadi Rasulullah SAW, manusia terpilih yang sangat dihormatinya itu.(Mahbib Khoiron)

Biografi Imam Nawawi

| komentar

riyadhush-sholihin Gema Santri
Nasab (keturunan) Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Kata ‘an-Nawawi’ dinisbahkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqh terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan LingkungannyaBeliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqh pada sebahagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mahu bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sambil membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian menghantarkannya kepada ayahnya dan menasihati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasihat ini.
Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan dihantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga meningkat Remaja.
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.
Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempoh yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ketiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, keempat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, kelima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, keenam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ketujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), kelapan di dalam ilmu Sharaf, kesembilan di dalam ilmu Ushul Fiqh, kesepuluh terkadang terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, kesebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, keduabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.
Ketiga, Produktif di dalam Menelurkan Karya Tulis
Beliau telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.
Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.
Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.
Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadh ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdhah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.
Budi Pekerti dan Sifatnya
Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahawa Imam an-Nawawi merupakan hujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasihati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.

Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kongkongan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mahu memakan buah-buahan Damaskus kerana merasa ada syubhat tentang kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sedikit pun diambilnya. Beliau justeru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mahu menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Iaitu, orang yang membawanya haruslah diri yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mahu menerima sesuatu, kecuali dari kedua orang-tuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.
Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mahu tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mahu diistimewakan atau diberikan fasiliti yang lebih dari itu.
Menasihati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kes penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.
Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tartar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahawa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengakui kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, iaitu berupa sijil kepemilikan.
Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh kerana itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan kehairanan mereka dengan menyeletuk, “Sesungguhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.
Menyedari bahawa hanya dengan surat saja tidak mampan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasihatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tenteram kembali.

WafatnyaPada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sambil menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadhy, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.
 
Support : Kang Dam | Kembang Pring | Iramadam
Copyright © 2013. Kang Dam Ngeblog